Rabu, 14 September 2011

Mahar-Q

Mahar dalam pernikahan



Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon
 istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini
 menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun
 sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk
 uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal

Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar
 adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
 dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta
 oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di
 masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
 Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang
 secara nominal tidak ada harganya.

Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat
 oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal,
 sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi
 sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang
 punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah,
 kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda
 berharga lainnya.
 Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai
 nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa
 puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya
 penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada
 calon istrinya.

Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita
 muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli
 dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal
 pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang
 eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru
 sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang
 bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.

Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri.
 Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
 sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
 tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
 mengganggu status perkawinannya.

Mahar Dengan Mengajar Al-Quran

Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri,
 tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana,
 kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab
 rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas,
 selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu
 berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.

Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar
 berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan
 Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal
 secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’
 di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka,
 melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan
 ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.

Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang
 berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri
 lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah
 kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
 Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
 berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau
 berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
 sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
 berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
 tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu
 menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil
 menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
 menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori
 Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”
 Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
 jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada
 gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang
 seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan
 diterimanya.

Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama

Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal
 mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa
 minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama
 mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
 Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil
 Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat
 dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya
 dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi
 kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu
 memenuhinya.

Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang
 tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai
 permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.
 Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win
 solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang
 dirugikan.

Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal,
 sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
 Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah
 anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
 mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas
 TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
 menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.

Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh
 mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan
 lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai
 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”

Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu

Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan
 juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya
 kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri.
 Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti
 keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi
 bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh
 siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.

Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan
 nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa
 mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho
 dan rela atas mahar itu.

a. Sepasang Sendal Di masa Rasulullah SAW, kejadian mengenaskan
 seperti itu pernah terjadi. Di mana seorang laki-laki yang sangat
 miskin ingin menikah dan tidak punya harta apapun. Maka dibolehkan
 mahar itu meski berupa sendal.
 Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah
 dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya,
 “Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?”
 Dia menjawab,” Rela.” Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad
 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).

b. Hafalan Quran:
 Ada juga orang yang sangat miskin, tidak punya harta apapun, namun di
 kepalanya ada ilmu-ilmu keIslaman, dia banyak hafal Al-Quran dan
 mengerti dengan baik tiap ayat yang pernah dipelajarinya.
 Maka atas ilmunya yang sangat berharga itu, dia boleh menjadikannya
 sebagai sebuah ‘harta’ yang punya nilai nominal tinggi. Meski tidak
 berbentuk logam emas. Kejadian itu benar-benar ada di masa Rasulullah
 SAW.

Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang
 berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri
 lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah
 kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
 Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
 berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau
 berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
 sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
 berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
 tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu
 menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil
 menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
 menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori
 Muslim).
 Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”
 Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
 jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa:
 Bahkan bila seorang laki-laki tidak punya harta, juga tidak punya
 ilmu, tapi tetap ingin menikah agar tidak jatuh ke dalam lembah zina,
 boleh saja seorang wanita emngikhlaskan semua haknya untuk menerima
 harta mahar.
 Sebab mahar itu memang hak sepenuhnya calon istri, maka bila dia
 merelakan sama sekali tidak menerima apa pun dari suaminya, tentu
 tidak mengapa. Dan kejadian itu pun pernah terjadi di masa Rasulullah
 SAW. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk
 masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa.
 Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.
 Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim
 berkata, ” Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak
 lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal
 bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam,
 keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut
 lainnya.” Maka jadilah keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam
 pernikahannya itu. (HR Nasa’i 6/ 114).
 Semua hadist tadi menunjukkan kasus kasus yang terjadi di masa lalu,
 di mana seorang laki-laki yang punya kewajiban memberi mahar dengan
 nilai tertentu, tidak mampu membayarkannya. Hadits-hadits di atas
 tidak menunjukkan standar nilai nominal mahar di masa itu, melainkan
 sebuah pengecualian.
 Hal itu terbuktiketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan
 batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara di atas mimbar.
 Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera
 saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan
 sebuah ayat qur’an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan
 berkata,”Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari
 Umar.” Kemudian Umar kembali naik mimbar,”Sebelumnya aku melarang
 kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan
 lakukan sekehendak anda.”
 Dalam konteks kebiasaan mahalnya mahar wanita di zaman itulah
 kira-kira tepatnya hadits Rasulullah SAW berikut.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Nikah yang paling besar
 barakahnya itu adalah yang murah maharnya” (HR Ahmad 6/145)
 Namun hadits ini perlu dipahami dalam konteks wanita di masa itu yang
 sama sekali tidak mau bergeming dari tarif mahar yang diajukannya.
 Sedangkan untuk konteks kita di Indonesia, di mana kebiasaan kita
 memberi mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat yang
 sangat murah, tentu perlu dipahami secara lebih luas.
 Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

from : Ust. Ahmad Sarwat, Lc.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar